sejarah pancasila
Tips Belajar

Mengulas Sejarah Pancasila, dari Piagam Jakarta hingga Dasar Negara

Sebagai dasar negara dan pedoman hidup masyarakat Indonesia, Pancasila ternyata memiliki sejarah yang panjang loh. Selain itu, ada juga hubungannya dengan usaha para pendiri negara untuk mempersatukan Indonesia. Simak selengkapnya, yuk!

Sejarah Pancasila sebagai Persiapan Pidato Kemerdekaan Indonesia!

Memasuki tahun 1945, Jepang yang menyadari bakal kalah di Perang Dunia II berusaha mengambil hati masyarakat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan.

Untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, Jepang membentuk lembaga Dokuritsu Junbi Chōsa-kai, atau terkenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Maret 1945. Ketuanya adalah Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat. 

Dalam pidato pembukaannya, dr. Radjiman mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota Sidang, “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?”. Nah, mulai muncul usulan-usulan dari para anggota BPUPK. Salah satunya Lima Dasar oleh Muhammad Yamin yang ia kemukakan pada sebuah pidato pada 29 Mei 1945.

Lima Dasar itu adalah Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Menurut M. Yamin, kelima sila itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. 

Pada sebuah sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, Kemanusiaan atau internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. 

Dalam pidatonya, Soekarno yang kelak menjadi Presiden pertama Indonesia pertama kali menyebut kata “Pancasila”. Tanggal 1 Juni pun ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. 

Setelah sidang ini, BPUPK mengalami periode reses (istirahat) selama sebulan. Tapi Pancasila sebagai dasar negara harus tetap digagas. Dibentuklah Panitia Sembilan, susunannya seperti ini:

Ketua: Ir. Soekarno

Wakil Ketua: Drs. Mohammad Hatta

Anggota:

  • Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo 
  • Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. 
  • Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim 
  • Abdoel Kahar Moezakir 
  • Raden Abikusno Tjokrosoejoso 
  • Haji Agus Salim
  • Mr. Alexander Andries Maramis

Piagam Jakarta dan Penolakan terhadap “Tujuh Kata”

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan Piagam Jakarta. Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila sebagai dasar negara, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, frasa yang dikenal dengan nama “tujuh kata”.

Pada 10-17 Juli 1945, BPUPK menggelar sidang resmi kedua untuk membahas permasalahan mengenai undang-undang dasar, termasuk rancangan dasar negara yang ada dalam Piagam Jakarta.

Beberapa anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap “tujuh kata”, termasuk Johannes Latuharhary, anggota asal Ambon yang beragama Protestan.

Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang “besar sekali” terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa suku Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku.

Dua anggota lain yang tidak setuju dengan tujuh kata adalah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam untuk menjalankan hukum syariat. 

Intinya, sidang berlangsung alot dalam membahas “tujuh kata”. Skip ke bulan Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu. Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.

Penolakan terhadap “Tujuh Kata”

Keesokan paginya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berkumpul untuk mengesahkan UUD (undang-undang dasar) negara. Dalam pertemuan ini, Bung Hatta mengusulkan untuk menghapus “tujuh kata”.

Menurut beliau, pada 17 Agustus malam hari, seorang opsir Jepang menyampaikan kabar bahwa sekelompok nasionalis dari Indonesia Timur menolak “tujuh kata”. Hal tersebut karena terkesan diskriminatif terhadap agama minoritas, dan ingin mendirikan negara sendiri di luar Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut.

Bung Hatta pun mengusulkan untuk mengubah sila pertama dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Usulan itu diterima para anggota PPKI dan jadilah Pancasila seperti yang kita kenal sekarang ini. 

Panjang kan sejarah Pancasila? Untuk menghargai jasa mereka, yuk kita amalkan Pancasila dalam kehidupan bernegara! Caranya? Kamu bisa berkontribusi dengan upgrade skill dan wawasan dengan ikutan kelas online di goKampus. Bermodalkan gadget yang kamu miliki, kamu bisa menjangkau kelas online ini kapan pun dan di mana pun.

Ikutan kelas online goKampus, bisa upgrade skill, dapat sertifikat dari institusi luar negeri sebagai bukti kualifikasi kamu yang semakin meningkat juga. Penasaran? Klik link di sini dan pilih kelasnya sesukamu.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *